Kamis, 11 Agustus 2011

Nepotisme sebagai fenomena "budaya" manusiawi


Masih teringat secara jelas di medio 98-an ketika reformasi bangsa meledak lahir sebagai salah satu takdir sejarah bangsa. Gerakan rakyat "people power" yang di motori oleh mahasiswa turun tumpah ruah di jalan meluapkan aspirasi dengan jargon jargonya yang antara lain berantas KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Sebuah komplikasi penyakit kronis bangsa yang hingga saat ini sedang di obati dan dirawat serta akan dibasmi sehingga wabah yang sudah jadi endemi mampu hilang tanpa ada bekas dan jejaknya. Salah satu penyakit kronis itu adalah nepotisme
Apa sebenarnya nepotisme, secara etimologi nepotisme berasal dari dari kata Latin nepos, yang berarti "keponakan" atau "cucu". Istilah ini sendiri berasal dari abad pertengahan ketika Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katolik dan uskup- yang telah mengambil janji "chastity" , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung - memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan "dinasti" kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI.
Dalam kamus besar bahasa indonesia secara rinci diuraikan sebagai berikut "Nepotisme n 1 perilaku yg memperlihatkan ke sukaan yg berlebihan kpd kerabat dekat:, 2 kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri; terutama dl jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; 3 tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan; para pemimpin banyak melakukan korupsi, menyalahgunakan kekuasaan dan cenderung ke arah ~ "
(Ref. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, P 780)
Jika kita melihat dari sudut pandang yang lebih luas nepotisme sendiri ibarat dua sisi mata uang yang saling bersebarangan. Hal ini dikarenakan kebiasaan ataupun budaya di internal masyarakat yang sudah melembaga sejak zaman awal adanya nusantara "menghalalkan" praktek nepotisme sebagai bentuk dinasti. Namun seiring perkembangan zaman dan perubahan ke tata negaraan yang mulai mengadopsi sistem demokrasi tentunya praktek praktek tersebut sudah tidak bisa dikatakan lagi sebgai perbuatan halal yang diperkenankan.
Lebih jauh lagi jika kita uraikan secara runut "nepotisme" mungkin bisa diperkenankan jika tidak ada embel embel mencari keuntungan pribadi ataupun golongan tertentu. Di negara paling bapaknya demokrasi Amerika serikat praktek itu sangat dimaklumi oleh masyaraktnya sebagai contoh peristiwa besar ketika Ketika Presiden John F Kennedy mengangkat adiknya, Robert Kennedy, sebagai Jaksa Agung, rakyat Amerika tidak mempersoalkannya. Mereka beranggapan itu sebagai suatu kewajaran karena rekam jejak robert kennedy sendiri. Tetapi kenapa di negara kita hal itu menjadi suatu masalah yang besar, hal itu tidak terlepas dari adanya kepentingan keluarga yang mengatasnamakan nepotisme dalam mengeruk keuntungan demi kepentingan pribadi atau golongan.
Praktek nepotisme sendiri sebenarnya dapat di kecilkan lingkupnya hanya sebatas pada sistim pengangkatan, penempatan, penunjukan dan kenaikan pangkat atas dasar pertalian darah, keluarga atau kawan dalam suatu badan atau institusi yang bisa dipersempit lagi pada badan pemerintahan. Dalam ajaran agama islam sendiri proses rekrutmen pegawai haruslah memenuhi dua persyaratan yaitu kemampuan dan kejujuran sesuai dengan QS 28 : 26. Kemampuan berati bahwa orang yang akan menempati suatu posisi haruslah memiliki kemampuan yang sesuai dan mumpuni sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan dan harus dipenuhi. Dalam kemampuan itu sendiri haruslah dilapisi oleh kejujuran sebagai satu syarat terpenting yang kesemuanya berakar pada iman perseorangan dalam menghormati seluruh norma hukum dan agama yang ada. Dalam sejarah islam sendiri praktek ini pernah terjadi Dalam sejarah Islam nepotisme model ini pernah terjadi ketika Khalifah Usman mengangkat kaum kerabatnya pada jabatan penting seperti “Sekretaris Negara” dan Gubernur.
Sesuatu acuan yang menjadi dasar sebenarnya adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukanya seperti sabda rasulluah saw:” Berikanlah kepada seseorang apa yang menjadi haknya”. Sehingga dinamika sekarang yang beredar di masyarakat kita memandang bahwa semua yang berorientasi pada keluarga kerabat, tyeman atau saudara di masukkan dalam praktek nepotisme. Hal itu tidaklah adil secara keseluruhan karena tidak semuanya salah, jika mereka punya kemampuan, kejujuran serta lulus dari fit dan proper test semua tidak menjadi masalah janganlah kedok nepotisme ini dijadikan kambing hitam untuk merampas hak asasi bagi perseorangan yang mempunyai kemampuan serta kejujuran.
Di kalangan swasta pun nepotisme wajar dan lumrah dilakukan karena mereka khususnya pihak pemilik ataupun direksi lebih memilih dan merekrut karyawan dari kalangan yang sudah dikenal seluk beluknya baik itu keluarga, teman atau saudara karena mereka berprinsip , seseorang dengan latar belakang yang sudah dikenal dan punya hubungan emosi akan lebih mudah untuk diarahkan ke sasaran yang ada. daripada harus memilih kucing dalam karung.
jadi kembali lagi ke persoalan dasar, nepotisme haruslah dipandang dari sudut pandang yang luas . Tidak adil memangkas hak asasi seseorang hanya karena pemahaman yang salah tapi jangan juga mengentengkan suatu persoalan dengan bahwa nepotisme bisa dijadikan kedok untuk menumpuk kepentingan sendiri. yang terpenting adalah "The right man on the right place"